Karyawan divisi pajak, bersiaplah angkat koper

Posted by Mangmoch | Saturday, August 30, 2008 | | 0 comments »

Anda bekerja di bagian divisi pajak? Siap-siaplah angkat koper dan cari pekerjaan lain di luar bidang pajak. Perusahaan tidak bisa lagi memanfaatkan tenaga Anda untuk menangani urusan pajak karena Kantor Pelayanan Pajak (KPP) hanya bersedia menerima bos besar atau konsultan pajak. Bukan Anda.
Ini sama sekali bukan joke. Beberapa KPP di wilayah Jakarta sudah tegas-tegas menolak berurusan dengan karyawan perusahaan. Mereka hanya bersedia bertemu dengan direksi, atau konsultan pajak yang mendapat kuasa dari direksi perusahaan.

Akan tetapi, jangan salahkan petugas atau kepala KPP. Mereka hanya anak buah yang taat kepada pimpinan. Bagi aparat pajak yang ada di lapangan, bekerja tanpa melanggar peraturan-apa pun bunyi peraturan tersebut-adalah bagian dari kode etik yang harus ditaati pada era kantor pajak modern.

Muaranya adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.03/2008 tentang Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa, yang ditandatangani Sri Mulyani Indrawati 6 Februari lalu. Permenkeu ini merupakan amanat Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 80/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan UU KUP 2007.

Berubah-ubah

Entah karena lobi asosiasi tertentu atau karena pemerintah memang tidak punya pendirian, yang pasti ketentuan mengenai kuasa wajib pajak dalam sejarahnya selalu berubah-ubah.

Darussalam dan Danny Septriadi dalam artikelnya Catatan tentang ketentuan kuasa wajib pajak, sejak UU KUP 2000 hingga UU KUP 2007, yang dimuat di sebuah majalah perpajakan, edisi 04 Februari 2008, mencatat perkembangan regulasi mengenai kuasa wajib pajak.

Pertama, era sebelum 13 Oktober 2005. UU KUP 2000 menyatakan, orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban menurut ketentuan dan perundang-undangan perpajakan. Seorang kuasa harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan Menteri Keuangan.

Melalui Kepmenkeu No. 576/KMK.04/2000 menyebutkan seorang kuasa harus menguasai ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan. Ijasah formal pendidikan di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan negeri atau swasta dengan status disamakan dengan negeri, dapat menjadi kuasa wajib pajak.

Selain melalui jalur pendidikan formal, kuasa juga bisa berasal dari jalur brevet pajak yang diterbitkan Ditjen Pajak. Jalur ini dibagi dua, yaitu mereka yang lulus ujian sertifikasi yang dilakukan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) atau pensiunan pegawai pajak.

Kedua, setelah 13 Oktober 2005 ditandai dengan terbitnya Permenkeu No. 97/PMK.03/2005. Menteri Keuangan hanya mengakui kuasa wajib pajak yang datang dari jalur brevet pajak, sementara jalur pendidikan formal dipinggirkan.

Repotnya, aturan itu diberlakukan secara retroaktif. Lulusan pendidikan formal yang sebelumnya boleh menjadi kuasa wajib pajak, sejak 13 Oktober 2005 tidak bisa lagi menjadi kuasa.

Ketiga, era PP No. 80/2007. Melalui PP ini, lulusan dari jalur pendidikan formal dapat kembali berprofesi sebagai kuasa WP. Syaratnya mereka minimal berijasah D3 di bidang perpajakan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan negeri atau swasta dengan akreditasi A.

Melampaui PP

Lagi-lagi, pemerintah kembali berubah. Permenkeu No. 22/PMK.03/2008 membatasi hak-hak kuasa non-konsultan. Seorang yang bukan konsultan pajak termasuk karyawan wajib pajak hanya dapat menerima kuasa dari:

Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha bebas, Wajib Pajak pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp1,8 miliar dalam satu tahun, atau

Wajib pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp2,4 miliar dalam satu tahun. Lulusan pendidikan formal memang masih boleh berprofesi sebagai kuasa WP, meski dengan sejumlah pembatasan. Namun, yang jadi soal adalah, mengapa Menteri Keuangan membatasi karyawan untuk berurusan dengan kantor pajak? Bukankah karyawan tersebut direkrut dan digaji memang untuk membantu perusahaan?

Membatasi hak-hak karyawan sama dengan membatasi hak-hak perusahaan atau hak wajib pajak.

Jika mereka yang berstatus karyawan tidak boleh berhadap-hadapan dengan kantor pajak, jika omzet perusahaan sudah di atas Rp2,4 miliar, lalu untuk apa perusahaan harus membentuk divisi atau bagian pajak dalam organisasinya?

Permenkeu ini agaknya menggiring agar perusahaan menggunakan jasa konsultan pajak, yang sebagian besar isinya adalah pensiunan pegawai pajak.

Tampaknya, Menkeu lupa bahwa dalam Peraturan Pemerintah No. 80/2007 yang bisa diatur lebih lanjut adalah mengenai syarat serta hak dan kewajiban seorang konsultan pajak, bukan seorang kuasa wajib pajak.

Padahal, konsultan pajak dan kuasa wajib pajak adalah dua 'makhluk' yang jelas-jelas berbeda.

Parwito
Bisnis Indonesia, 28 Februari 2008

0 comments