Pokok-pokok Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan

Posted by Mangmoch | Thursday, December 04, 2008 | | 0 comments »

Beberapa pokok perubahan dalam UU PPh baru yang dimuat oleh www.financedetik.com adalah sebagai berikut :

1.Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh)

Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

a.Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30%dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.


b.Bagi Wajib Pajak Badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010. Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi Wajib Pajak Badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.

c.Bagi Wajib Pajak UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan Wajib Pajak yang bergerak di UMKM.

d.Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas Wajib Pajak dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.

e.Bagi Wajib Pajak pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

f.Bagi Wajib Pajak penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

2.Pembebasan Fiskal Luar Negeri

Bagi Wajib Pajak yang telah mempunyai NPWP dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak 2009, dan pemungutan fiskal luar negeri dihapus pada 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong Wajib Pajak memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.

3.Peningkatan PTKP
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi ditingkatkan sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.

4.Penerapan Tarif Lebih Tinggi Untuk WP Non NPWP

Penerapan tarif pemotongan/pemungutan PPh yang lebih tinggi bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP.

a.Bagi Wajib Pajak penerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan 20% lebih tinggi dari tarif normal.
b.Bagi Wajib Pajak menerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 yang tidak mempunyai NPWP, dikenai pemotongan 100% lebih tinggi dari tarif normal.
c.Bagi Wajib Pajak yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP dikenakan pemungutan 100% lebih tinggi dari tarif normal.

5. Biaya Sumbangan
Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.

a.Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial.
b.Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.
c.Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.

6.Pengecualian dari objek PPh
a.Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.
b.Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.
c.Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak.

7.Surplus Bank Indonesia ditegaskan sebagai objek pajak.

Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus Bank Indonesia. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus Bank Indonesia adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.

8.Diatur Dengan Peraturan Pemerintah

Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Inilah UU PPh yang dinantikan oleh semua kalangan, baik pebisnis, akademisi maupun masyarakat luas lainnya. UU PPh ini lebih memberikan kepastian hukum serta kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berperan aktif membangun Negara melalui kontribusi pembayaran pajak.

Sudah saatnya setiap warga Negara yang telah memiliki penghasilan di atas PTKP untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan memperoleh NPWP pada Kantor Pelayanan Pajak terdekat. Hanya dengan mempunyai NPWP maka setiap warga berhak memproleh pengenaan pembebasan Fiskal Luar Negeri dan dikenakan tarif pajak normal sesuai ketentuan UU PPh yang berlaku.

[+/-] Selengkapnya...

Penghindaran Pajak vs Penggelapan pajak

Posted by Mangmoch | Friday, November 28, 2008 | | 0 comments »

Pengantar

Konon, di dunia ini tidak ada sesuatu yang pasti selain pajak dan kematian. Kita hidup pasti membayar pajak dan juga pasti mati. Nyaris tidak ada tempat di dunia ini yang bebas dari pajak, kecuali kita tinggal di daerah terpencil dan tidak berhubungan dengan dunia luar sama sekali. Sejak bayi lahir ke dunia ini, mulai menggunakan berbagai barang kebutuhan hidup sehari-hari (pakaian, susu, makanan dll) semua terkena pajak. Pada saat orang tua membelanjakan uangnya untuk keperluan calon buah hati tercinta, saat itu pula kita sudah membayar pajak.

Bagi perusahaan, negara adalah “pemegang saham utama” dengan porsi sebesar 30% (tarif pajak yang berlaku). Sebelum laba dibagikan kepada para pemegang saham/owner, perusahaan terlebih dahulu diwajibkan untuk membayar 30% ke kas negara sebagai kewajiban pajak.

Bagi karyawan, demikian pula. Sebelum gaji dibayarkan kepada karyawan, sebelum kita bisa membelanjakan gaji yang kita peroleh, pada dasarnya pajak yang terutang (PPh 21) sudah harus dipotong dan disetorkan ke negara.

Bagaimana cara menghindari Pajak

Seperti halnya dengan menghindari jalan tol (memilih jalan biasa) agar terhindar dari kewajiban membayar karcis tol, cara yang paling mudah dan legal untuk menghindari pajak adalah dengan cara menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, misalnya dengan tidak memperoleh penghasilan. Namun tentu saja pilihan ini tidak mungkin untuk dipilih. Tentu kita tidak mau khan hanya demi menghindari pembayaran pajak, lantas kita tidak mau memperoleh penghasilan?

Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah –loophole- yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

Selain menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain :
Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan,
Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar


Bagaimana pajak perusahaan dihitung

Pada dasarnya kewajiban pajak perusahaan dihitung berdasarkan laba bersih yang diperoleh selama satu periode (satu tahun pajak). Laba bersih perusahaan dihitung berdasarkan laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan.

sebagai gambaran, laporan laba rugi yang disusun oleh perusahaan :
Uraian Jumlah (Rp)
Penjualan 10.000.000
Harga Pokok Penjualan 6.000.000
Laba Bruto 4.000.000
Biaya Operasional :
- Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll) 1.000.000
- Biaya Gaji karyawan 900.000
- Biaya Operasional lainnya 1.500.000
Sub total Biaya Operasional 3.400.000

Laba Bersih 600.000
PPh terutang - 30% 180.000
Laba Bersih setelah Pajak 420.000



Dalam contoh tersebut laba bersih perusahaan sebelum pajak sebesar Rp 600.000. PPh yang terutang sebesar Rp 180.000 sehingga laba bersih setelah pajak –yang dapat diinvestasikan kembali- atau dibagikan kepada pemilik sebagai dividen sebesar Rp 420.000


Tidak semua Biaya Operasional dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan

Dalam ilustrasi perhitungan PPh di atas, diasumsikan bahwa seluruh biaya operasional perusahaan dapat dibebankan/ diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan. Sehingga pajak yang terutang dihitung berdasarkan laba bersih.

Sayangnya, sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku terdapat berbagai macam biaya yang –meskipun secara akuntansi komersial dan bisnis- memang dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan usaha; namun tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh terutang atau menjadi non deductable expenses.

Secara umum, pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan secara fiskal (deductable expenses) adalah pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Pengeluaran biaya tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta didukung dengan bukti yang memadai (valid & reliable).

Meskipun pengeluaran yang dilakukan perusahaan benar-benar berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, secara internal-pun sudah diakui kebenaran transaksi tersebut, sepanjang pengeluaran tersebut tidak didukung adanya bukti transaksi yang memadai, bukti transaksi yang valid dan reliable maka sesuai dengan ketentuan perpajakan, pengeluaran tersebut menjadi non deductable expenses.


Berbicara mengenai bukti kebenaran suatu transaksi, akuntansi mencatat suatu transaki yang telah lewat kejadiannya (historical data), satu-satunya alat yang dapat membuktikan bahwa transaksi tersebut benar adanya, yaitu dengan adanya dokumen yang valid dan reliable. Selain dokumen, tentu saja adanya internal kontrol yang kuat yang dapat mencegah terjadinya transaksi-transaksi yang tidak benar juga diperlukan.

Meskipun secara akuntansi komersial, suatu transaksi telah dapat dibuktikan kebenarannya –berdasarkan dokumen- yang ada, ketentuan perpajakan belum tentu menerima hal tsb.

Kalau ketentuan pajak tidak mengakui pengeluaran perusahaan sebagai deductable expenses, apa efeknya?

Dalam ilustrasi perhitungan PPh di atas, diasumsikan bahwa semua biaya operasional dapat diakui sebagai pengurang penghasilan seluruhnya sehingga PPh terutang dihitung berdasarkan laba bersih. Apabila atas biaya operasional perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya secara fiskal –menjadi non deductable expenses-, maka perhitungan pajak dilakukan berdasarkan laba bersih setelah ditambah dengan pengeluaran yang merupakan kelompok non deductable expenses.

Jika dalam ilustrasi perhitungan di atas, komponen biaya pemasaran tidak didukung bukti pengeluaran yang valid misalnya, selain itu juga terdapat biaya entertainment yang tidak didukung daftar nominatif, sehingga seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya (dikoreksi menjadi non deductable expenses), maka ilustrasi perhitungan PPh-nya menjadi sebagai berikut :

Uraian Jumlah (Rp)
Penjualan 10.000.000
Harga Pokok Penjualan 6.000.000
Laba Bruto 4.000.000
Biaya Operasional :
- Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll) 1.000.000
- Biaya Gaji karyawan 900.000
- Biaya Operasional lainnya 1.500.000
Sub total Biaya Operasional 3.400.000

Laba Bersih - komersial 600.000
Ditambah :
Biaya pemasaran yang merupakan non deductable expenses 1.000.000
Laba yang menjadi dasari perhitungan Pajak 1.600.000
PPh terutang - 30% 480.000 80,00%
Laba Bersih setelah Pajak 120.000




Dari ilustrasi perhitungan ini, dapat terlihat bahwa pengeluaran yang nyata-nyata sudah menjadi beban perusahaan untuk keperluan memasarkan produk –biaya promosi dan sponsorship- namun karena biaya tersebut tidak didukung bukti yang valid, perusahaan memiliki kewajiban pajak yang jauh lebih tinggi dibanding seharusnya. Dalam contoh tersebut tarif efektif PPh mencapai 80% dari laba bersih.

Membayar 30% saja sudah menjadi beban apalagi harus membayar sampai 80%, tentu menjadi beban yang sangat berat bagi perusahaan.

Memilih alternatif transaksi yang memberikan efek pajak termurah

Selain wajib membayar pajak atas penghasilan yang diperoleh, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk memotong pajak yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lainnya, baik kepada karyawan maupun kepada pihak ketiga.

Atas pembayaran gaji dan tunjangan kepada karyawan perusahaan wajib memotong dan menyetor PPh 21 yang terutang. Pembahasan mengenai PPh 21 akan dilanjutkan pada kesempatan lain.

Sedangkan atas pembayaran kepada pihak ketiga, atas imbalan jasa/ kegiatan, perusahaan juga memiliki kewajiban memotong PPh 23 yang terutang dan menyetorkannya ke kas negara. Dalam kondisi yang ideal, PPh pasal 23 yang harus dipotong dari pembayaran kepada pihak ke-3 (vendor) tidaklah menjadi pengurang penghasilan (biaya) bagi perusahaan, karena perusahaan hanya mengurangi jumlah uang yang akan dibayarkan kepada vendor sebesar tarif PPh 23 yang berlaku dan menyetorkannya ke kas negara.

Sayangnya, dunia –apalagi dunia pajak- tidak selalu indah. Ada saat dimana perusahaan harus melakukan transaksi dengan vendor yang lebih superior dan tidak bersedia dipotong pajak atas fee yang akan diterimanya. Ada saat dimana perusahaan dalam posisi sangat membutuhkan jasa ‘pihak ketiga tersebut’ karena otoritas yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti ini, perusahaan lagi-lagi akan memperhitungkan alternatif mana yang harus dipilih agar pajak tidak semakin menjadi beban bagi perusahaan. Kadang perusahaan terpaksa memilih untuk melakukan gross up atas fee yang akan dibayarkan kepada vendor / pihak ketiga yang jasanya sangat dibutuhkan perusahaan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adakalanya perusahaan memilih untuk menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban pihak lain, meskipun beban pajak tersebut pada akhirnya menjadi komponen non deductable item.


Tujuan perusahaan yang harus dicapai secara bersama-sama

Salah satu tujuan sebuah perusahaan didirikan adalah untuk tujuan ekonomi. salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah perusahaan secara ekonomi adalah pencapaian laba bersih –setelah pajak- yang tinggi.

Laba bersih yang tinggi tentu diawali dengan pencapaian target penjualan yang tinggi, kemudian diikuti dengan pengeluaran biaya-biaya yang efisien, dan pembayaran pajak yang optimal, sehingga akan dicapai laba bersih setelah pajak yang maksimal.

Ketika penjualan mencapai target, namun biaya yang dikeluarkan jauh lebih tinggi –misalnya- maka secara ekonomi hal tsb hanya akan menjadi sebuah pencapaian yang “sia-sia”.

Demikian pula ketika laba bersih –secara komersial- sudah mencapai angka yang optimal, karena didukung dengan pencapaian target penjualan yang maksimal dan pengeluaran yang minimal, bisa jadi akan menjadi sia-sia ketika ternyata laba habis tergerus beban pajak yang tidak seharusnya. Misalnya karena banyaknya biaya yang merupakan kriteria non deductable expenses.

sumber : triyani.wordpress.com

[+/-] Selengkapnya...

Gimana sich caranya punya NPWP ?

Posted by Mangmoch | Sunday, August 31, 2008 | , | 0 comments »

NPWP adalah nomor yang diberikan kepada WP sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Setiap wajib pajak akan memilik NPWP yang unik dan berbeda dengan wajib pajak yang lain. NPWP terdiri dari 15 digit. 8 digit pertama merupakan kode administrasi pajak, 1 check digit, 3 kode KPP, dan 3 kode cabang.
Untuk apa sih kita punya NPWP?? Yang jelas pertama karena NPWP adalah start awal dari semua hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak. Jadi ketika akan membayar pajak dia mempunyai NPWP, mengajukan restitusi, pemindahbukuan, dll (itu sudah jelas). Kalo dilihat dari situ terlihat bahwa NPWP hanya untuk kepentingan pajak saja. Seolah-olah negara yang membutuhkan NPWP. Tapi jangan salah, NPWP sekarang ini tidak hanya untuk melaksanakan kewajiban pajak saja. NPWP sekarang ini juga menjadi salah satu syarat pengajuan kredit perbankan, terutama untuk badan. Ketika akan mengajukan kredit maka akan ditanya NPWP nya. Begitu pula untuk tender pengadaan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Perusahaan-perusahaan yang ikut tender harus memiliki NPWP.. Nah terbayang kan bahwa NPWP itu penting

Nah bagaimana caranya untuk mendapat NPWP ini?? begini caranya: Kita bisa mengajukan dengan cara datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat domisili atau lokasi usaha kita.
Kita mengajukan peromohonan dengan membawa syarat-syarat yang dibutuhkan. Apa saja syaratnya akan saya tulis dalam artikel berikutnya. Kita mengisi formulir yang sudah disediakan di tempat pelayanan terpadu di KPP.
Setelah formulir diisi dengan dilampiri syarat-syarat yang diperlukan maka dalam satu hari kerja NPWP itu sudah jadi. Jadi besoknya sudah bisa diambil.. Gampang banget kan!!
Dan satu lagi, untuk membuat NPWP GRATISS!! Tidak usah membayar..
Jangan mau kalau diminta untuk membayar oleh petugas.
Bagi anda yang sibuk dan tidak sempat datang ke KPP masih bisa membuat NPWP. Trus bagaimana caranya??? Begini… Kita bisa mendaftar lewat internet, atau istilah kerennya melalui e-Registration (e-Reg). Kita tinggal membuka situs DJP di www.pajak.go.id Di dalam menu utama pada menu aplikasi kita pilih E-registration. Dari situ kita tinggal mengikuti step-stepnya (gampang banget kok!!).. Dan kalau anda tidak mengerti disana juga disediakan petunjuk pemakaian e-Regestration. Tapi jangan lupa sebelum kita menggunakan aplikasi e-Registration kita harus punya account dulu di situs pajak. Jadi kita buat dulu account dengan cara daftar/register. Setelah itu kita login dan mulai mengisi formulir. Isi dengan lengkap, benar dan jelas. Setelah kita isi maka kita akan mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar Sementara (SKTS). SKTS itu kita print dan dikirimkan kembali ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal kita dengan dilengkapi dengan syarat-syarat yang dibutuhkan. Dokumen ini harus dikirim dalam waktu 30 hari. Kalo lewat dari 30 hari permohonan anda gugur dan harus membuat permohonan kembali. Setelah dokumen tersebut diterima oleh KPP, dalam satu hari kerja NPWP sudah jadi akan dikirim ke alamat anda.. gampang banget kan!!! kalo sulit APA KATA DUNIA!!!

ditulis oleh : icalplus

[+/-] Selengkapnya...

Persyaratan Untuk Mendapatkan NPWP

Posted by Mangmoch | Sunday, August 31, 2008 | , | 0 comments »

Persyaratan untuk memperoleh NPWP diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-160/PJ./2007 Tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Jadi dalam peraturan ini mengatur mengenai NPWP dan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Untuk PKP akan dibahas dalam tulisan yang lain.
• Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
Usaha diartikan sebagai kegiatan usaha sebagaiman pengertian umum (common sense) sedangkan pekerjaan bebas adalah pekerjaan karena keahlian yang dimilikinya, misalnya seorang dokter, akuntan. Sehingga contoh dari wajib pajak yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas adalah karyawan yang menerima gaji saja tanpa memiliki usaha. Jadi penghasilannya semata-mata adalah dari pemberi kerja.

Syarat yang diperlukan adalah:
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi Penduduk Indonesia, atau paspor
2. surat pernyataan tempat tinggal/domisili dari yang bersangkutan bagi orang asing
• Untuk Wajib Pajak Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia,
2. atau paspor ditambah surat pernyataan tempat tinggal/domisili dari yang bersangkutan bagi orang asing (bentuk formulir sebagaimana dalam angka VII Lampiran I PER-160/PJ./2007).
3. Surat pernyataan tempat kegiatan usaha atau usaha pekerjaan bebas dari Wajib Pajak ( bentuk formulir sebagaimana dalam angka VI Lampiran I PER-160/PJ./2007).
• Untuk Wajib Pajak Badan
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia,
2. atau paspor ditambah surat pernyataan tempat tinggal/domisili dari yang bersangkutan bagi orang asing (bentuk formulir sebagaimana dalam angka VII Lampiran I PER-160/PJ./2007) dari salah seorang pengurus efektif
3. Surat pernyataan tempat kegiatan usaha dari salah seorang pengurus aktif ( bentuk formulir sebagaimana dalam angka VI Lampiran I PER-160/PJ./2007).
• Untuk Joint Operation sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia,
2. atau paspor ditambah surat pernyataan tempat tinggal/domisili dari yang bersangkutan bagi orang asing formulir sebagaimana dalam angka VII Lampiran I PER-160/PJ./2007) dari salah seorang pengurus Joint Operation

ditulis oleh : icalplus

[+/-] Selengkapnya...

Karyawan divisi pajak, bersiaplah angkat koper

Posted by Mangmoch | Saturday, August 30, 2008 | | 0 comments »

Anda bekerja di bagian divisi pajak? Siap-siaplah angkat koper dan cari pekerjaan lain di luar bidang pajak. Perusahaan tidak bisa lagi memanfaatkan tenaga Anda untuk menangani urusan pajak karena Kantor Pelayanan Pajak (KPP) hanya bersedia menerima bos besar atau konsultan pajak. Bukan Anda.
Ini sama sekali bukan joke. Beberapa KPP di wilayah Jakarta sudah tegas-tegas menolak berurusan dengan karyawan perusahaan. Mereka hanya bersedia bertemu dengan direksi, atau konsultan pajak yang mendapat kuasa dari direksi perusahaan.

Akan tetapi, jangan salahkan petugas atau kepala KPP. Mereka hanya anak buah yang taat kepada pimpinan. Bagi aparat pajak yang ada di lapangan, bekerja tanpa melanggar peraturan-apa pun bunyi peraturan tersebut-adalah bagian dari kode etik yang harus ditaati pada era kantor pajak modern.

Muaranya adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.03/2008 tentang Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa, yang ditandatangani Sri Mulyani Indrawati 6 Februari lalu. Permenkeu ini merupakan amanat Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 80/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan UU KUP 2007.

Berubah-ubah

Entah karena lobi asosiasi tertentu atau karena pemerintah memang tidak punya pendirian, yang pasti ketentuan mengenai kuasa wajib pajak dalam sejarahnya selalu berubah-ubah.

Darussalam dan Danny Septriadi dalam artikelnya Catatan tentang ketentuan kuasa wajib pajak, sejak UU KUP 2000 hingga UU KUP 2007, yang dimuat di sebuah majalah perpajakan, edisi 04 Februari 2008, mencatat perkembangan regulasi mengenai kuasa wajib pajak.

Pertama, era sebelum 13 Oktober 2005. UU KUP 2000 menyatakan, orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban menurut ketentuan dan perundang-undangan perpajakan. Seorang kuasa harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan Menteri Keuangan.

Melalui Kepmenkeu No. 576/KMK.04/2000 menyebutkan seorang kuasa harus menguasai ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan. Ijasah formal pendidikan di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan negeri atau swasta dengan status disamakan dengan negeri, dapat menjadi kuasa wajib pajak.

Selain melalui jalur pendidikan formal, kuasa juga bisa berasal dari jalur brevet pajak yang diterbitkan Ditjen Pajak. Jalur ini dibagi dua, yaitu mereka yang lulus ujian sertifikasi yang dilakukan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) atau pensiunan pegawai pajak.

Kedua, setelah 13 Oktober 2005 ditandai dengan terbitnya Permenkeu No. 97/PMK.03/2005. Menteri Keuangan hanya mengakui kuasa wajib pajak yang datang dari jalur brevet pajak, sementara jalur pendidikan formal dipinggirkan.

Repotnya, aturan itu diberlakukan secara retroaktif. Lulusan pendidikan formal yang sebelumnya boleh menjadi kuasa wajib pajak, sejak 13 Oktober 2005 tidak bisa lagi menjadi kuasa.

Ketiga, era PP No. 80/2007. Melalui PP ini, lulusan dari jalur pendidikan formal dapat kembali berprofesi sebagai kuasa WP. Syaratnya mereka minimal berijasah D3 di bidang perpajakan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan negeri atau swasta dengan akreditasi A.

Melampaui PP

Lagi-lagi, pemerintah kembali berubah. Permenkeu No. 22/PMK.03/2008 membatasi hak-hak kuasa non-konsultan. Seorang yang bukan konsultan pajak termasuk karyawan wajib pajak hanya dapat menerima kuasa dari:

Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha bebas, Wajib Pajak pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp1,8 miliar dalam satu tahun, atau

Wajib pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp2,4 miliar dalam satu tahun. Lulusan pendidikan formal memang masih boleh berprofesi sebagai kuasa WP, meski dengan sejumlah pembatasan. Namun, yang jadi soal adalah, mengapa Menteri Keuangan membatasi karyawan untuk berurusan dengan kantor pajak? Bukankah karyawan tersebut direkrut dan digaji memang untuk membantu perusahaan?

Membatasi hak-hak karyawan sama dengan membatasi hak-hak perusahaan atau hak wajib pajak.

Jika mereka yang berstatus karyawan tidak boleh berhadap-hadapan dengan kantor pajak, jika omzet perusahaan sudah di atas Rp2,4 miliar, lalu untuk apa perusahaan harus membentuk divisi atau bagian pajak dalam organisasinya?

Permenkeu ini agaknya menggiring agar perusahaan menggunakan jasa konsultan pajak, yang sebagian besar isinya adalah pensiunan pegawai pajak.

Tampaknya, Menkeu lupa bahwa dalam Peraturan Pemerintah No. 80/2007 yang bisa diatur lebih lanjut adalah mengenai syarat serta hak dan kewajiban seorang konsultan pajak, bukan seorang kuasa wajib pajak.

Padahal, konsultan pajak dan kuasa wajib pajak adalah dua 'makhluk' yang jelas-jelas berbeda.

Parwito
Bisnis Indonesia, 28 Februari 2008

[+/-] Selengkapnya...

Tips Belajar Pajak dan Menjadi Ahli

Posted by Mangmoch | Saturday, August 30, 2008 | , | 0 comments »

Banyak orang yang berpikiran bahwa untuk bisa menguasai atau memperoleh pengetahuan harus melalui bangku kuliah. Itu adalah paradigma lama dalam belajar. Sekarang ini dengan tumbuhnya era internet, maka mau tidak mau paradigm belajar sudah mulai berubah. Belajar tidak harus di kampus lagi. Internet telah menyediakan sarana (resources) yang sangat besar bagi anda yang ingin belajar.
Bagaimana dengan belajar pajak??? Sekarang ini sangat mungkin sekali untuk mengembangkan skill anda dalam bidang perpajakan melalui internet. Bagaimana caranya?? Simak tips-tips berikut. Tips ini bisa anda coba untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan anda di bidang perpajakan.


Pertama. Anda harus punya dasar pengetahuan perpajakan terlebih dahulu. Apa itu ketentuan umum perpajakan (KUP) , pajak penghasilan ( PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak Bumi bangunan (PBB), Bea Meterai. Lebih baik kalau anda pernah membaca undang-undangnya
Kedua. Ikut dengan forum diskusi tentang pajak yang ada di milis. Sekarang ini sudah banyak milis yang aktif membahas dan tanya jawab seputar kasus perpajakan. Anda tinggal search aja di yahoogroups dengan kata kunci pajak. Untuk group yang di google juga ada, namun tidak sebanyak dan seaktif di grup yahoo. Namun anda juga harus ikut berpartisipasi aktif di forum diskusi ini sehingga pengetahuan pajak anda akan terus meningkat.
Ketiga. Sering-sering mengunjungi blog tentang pajak. Saat ini sudah mulai banyak blog yang mengulas tentang perpajakan di Indonesia. Tinggal googling aja maka anda akan menemukan beberapa blog tentang pajak yang bagus. Bahkan di blog itu ada kolom untuk tanya jawab masalah seputar perpajakan. Dan yang lebih hebatnya lagi ada fasilitas untuk download peraturan perpajakan yang terbaru.
Sering-sering mengunjungi situs portal direktorat jenderal pajak untuk mengetahui berita terbaru seputar pajak dan juga untuk mendownload peraturan perpajakan yang baru. Tapi jangan hanya di download. Peraturan itu juga harus anda baca.
Keempat. Seandainya anda mempunyai dana lebih anda bisa membeli software kumpulan peratuaran perpajakan. Software atau perangkat lunak tersebut akan memudahkan anda untuk mencari peraturan perpajakan yang terkait dengan kasus yang anda hadapi. Misalnya jika anda bingung tentang perlakuan pajak penghasilan maka anda bisa mencari peraturannya di software tersebut. Memang agak mahal software ini. Harganya bervariasi tergantung produk dari siapa. Dengan membeli software ini anda tidak perlu untuk mendownload peraturan karena perusahaan penyedia produk software tersebut akan mengirimi update peraturan perpajakan dalam bentuk CD tiap 2 atau 3 bulan sekali.
Semoga tips di atas membantu anda..

ditulis oleh : icalplus

[+/-] Selengkapnya...