Pajak Penghasilan Atas Jasa Konstruksi

Posted by Mangmoch | Thursday, August 13, 2009 | , | 0 comments »

Pada tanggal 20 Juli 2008 lalu Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008. Peraturan Pemerintah ini adalah pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang hal yang sama.
Dilihat dari jumlah pasalnya yang 12 Pasal dibandingkan dengan PP Nomor 140 Tahun 2000 yang hanya 6 pasal, PP Nomor 51 Tahun 2008 ini memang memberikan ketentuan yang lebih rinci yang tidak dijelaskan oleh PP Nomor 140 Tahun 2000. Kalau coba saya bandingkan, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Hal-hal tersebut saya coba paparkan dalam paragraf-paragraf di bawah ini


Definisi Istilah
PP Nomor 140 Tahun 2000 tidak mengatur tentang pengertian dari istilah-istilah kunci yang digunakan dalam PP ini. PP Nomor 51 Tahun 2008 memberikan pengertian atau definisi istilah-istilah kunci yang digunakan dalam Pasal 1. Istilah-istilah yang diberikan pengertiannya adalah istilah Undang-undang PPh, Jasa Konstruksi, Pekerjaan Konstruksi, Perencanaan Konstruksi, Pelaksanaan Konstruksi, Pengawasan Konstruksi, Pengguna Jasa, Penyedia Jasa, dan Nilai Kontrak.
Perluasan Objek
PP 140/200 nampaknya hanya mengatur pengenaan Pajak Penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang memang dilakukan oleh pengusaha yang mempunyai sertifikasi pengusaha konstruksi. Sementara penyedia jasa konstruksi yang tidak memiliki sertifikasi dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif lain dan diatur dengan ketentuan lain. Sementara itu, PP Nomor 51 Tahun 2008 ini nampaknya mengatur semua penyedia jasa konstruksi baik yang bersertifikat konstruksi maupun tidak. Hal ini bisa kita lihat dari pengaturan tarif yang berbeda di PP Nomor 51 Tahun 2008 ini.
Perluasan Cakupan PPh Final
Pada PP Nomor 140 Tahun 2000, pengenaan PPh final terbatas pada pengusaha konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha kecil dan nilai pengadaannya sampai dengan Rp 1 Miliar. Pada PP Nomor 51 Tahun 2008, semua usaha jasa konstruksi dikenakan PPh Final baik yang berkualifikasi usaha kecil maupun menengah/besar. Baik yang memiliki kualifikasi pengusaha konstruksi maupun yang tidak memiliki kualifikasi.
Tarif Pajak
PP Nomor 140 Tahun 2000 hanya mengenal dua macam tarif yaitu 2% dan 4%. Sementara itu PP Nomor 51 Tahun 2008 ini mengenal beberapa tarif yaitu :
• 2% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang berkualifikasi usaha kecil
• 4% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang tidak memiliki berkualifikasi usaha
• 3% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang berkualifikasi usaha menengah dan besar
• 4% untuk perencanaan atau pengawasan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang berkualifikasi usaha
• 6% untuk perencanaan atau pengawasan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang tidak berkualifikasi usaha
Mekanisme Pelunasan
Pada PP Nomor 140 Tahun 2000, mekanisme pelunasan dilakukan memalui pemotongan atau penyetoran sendiri tergantung pengguna jasanya apakah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23. Apabila pengguna jasanya bukan fihak-fihak tersebut maka pelunsasannya melalui pemotongan.
Sebenarnya pada PP Nomor 51 Tahun 2008 inipun mekanismenya sama tetapi istilah yang digunakan berbeda. Istilah yang digunakan dalam PP Nomor 51Tahun 2008 ini adalah ”pemotong pajak”. Kalau dilihat dari penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a, nampaknya istilah pemotong pajak ini sama dengan badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebagaimana dmaksud dalam PP Nomor 140 Tahun 2000.
Perubahan Lain
Ada beberapa hal lain yang diatur dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 yang tidak ada dalam PP Nomor 140 Tahun 2000 di antaranya pengaturan tentang kaitannya dengan PPh Pasal 26 ayat (4) bagi BUT, ketentuan tentang perlakuan atas selisih kurs, ketentuan tentang kompensasi kerugian sampai tahun 2008, dan ketentuan tentang nilai pembayaran yang tidak sama dengan nilai kontrak dikaitkan dengan piutang yang tak dapat ditagih.
Ketentuan Peralihan
Ketentuan baru dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 ini berlaku surut sejak 1 Januari 2008. Namun demikian, apabila kontrak ditandatangani sebelum 1 Januari 2008 maka untuk pembayaran kontrak atau bagian kontrak sampai dengan 31 Desember 2008 masih berlaku ketentuan lama dalam PP Nomor 140 Tahun 2000. Sedangkan untuk pembayaran kontrak atau bagian kontrak setelah tanggal 31 Desember 2008 pengenaan pajak Penghasilannya dilakukan berdasarkan ketentuan baru dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 ini.
Dengan demikian maka dapat juga disimpulkan bahwa jika kontrak ditandatangani sejak 2008 maka berlaku penuh ketentuan baru berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2008.
Pertanyaan yang timbul tentunya bagaimana dengan pembayaran yang dilakukan mulai 1 Januari 2008 sampai dengan diterbitkannya PP Nomor 51 Tahun 2008 ini yang kontraknya memang ditandatangani pada tahun 2008? Pengenaan pajaknya tentu sudah terlanjur dilakukan berdasarkan ketentuan lama. Menurut hemat penulis, tentunya harus dilakukan koreksi dengan cara melakukan pembetulan SPT dan melakukan pemindahbukuan dari PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 25 kepada PPh Final. Wajib Pajak juga perlu menambah setoran pajaknya apabila terjadi kenaikan tarif.
Terkait dengan kompensasi kerugian, kerugian fiskal dari usaha jasa konstruksi masih dapat dikompensasikan hanya sampai tahun pajak 2008.


[+/-] Selengkapnya...

NPWP Untuk Anggota Keluarga

Posted by Mangmoch | Thursday, March 05, 2009 | , | 0 comments »

Nomor Pokok Wajib Pajak, bagi WP Orang Pribadi, sebenarnya merupakan kewajiban untuk kepala keluarga saja yaitu suami. Bagi istri, kepemilikan NPWP merupakan pilihan di mana istri bias memiliki NPWP sendiri baik itu dalam status pisah harta, hidup berpisah, ataupun tidak pisah harta maupun tidak hidup berpisah. Namun demikian, pada umumnya kewajiban pajak istri mengikuti kewajiban pajak suami sehingga istri tidak perlu punya NPWP.

Namun demikian, dalam kenyataan di lapangan, afiliasi istri terhadap NPWP suami perlu juga dibuktikan dengan kepemilikan NPWP. Hal ini berkaitan erat dengan masalah pembebasan fiskal luar negeri dan tarif pemotongan PPh bagi istri atau anggota keluarga lainnya. Untuk itulah Direktur Jenderal Pajak akhirnya mengeluarkan ketentuan tentang pendaftaran NPWP bagi anggota keluarga, yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor 51/PJ/2008.


Apa Itu NPWP Anggota Keluarga?

NPWP anggota keluarga sebenarnya mirip dengan NPWP cabang dalam perusahaan. NPWP ini hanya “bagian” dari NPWP induknya, yaitu NPWP kepala keluarga, yaitu suami. Kewajiban perpajakannya tetap satu yaitu pada NPWP kepala keluarga. NPWP anggota keluarga lebih berfungsi untuk membuktikan bahwa seseorang adalah anggota keluarga seorang kepala keluarga.

Anggota keluarga sendiri adalah istri, orang tua, mertua, anak kandung, anak tiri dan anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya seorang kepala keluarga. Mereka-mereka inilah yang bias mendapatkan NPWP anggota keluarga.

Penomoran NPWP ini sebenatrnya mengikuti nomor NPWP kepala keluarga. Yang berbeda hanya tiga digit terakhir saja di mana kalau kepala keluarga tiga digit terakhirnya berakhiran 000, sementara anggota keluarga berakhiran 999, 998, 997 dst. Kedengarannya agak lucu juga, kenapa tiga digit terakhir berakhiran seperti itu bukannya 001, 002, 003 dst. Saya menduga mungkin karena masalah teknis database saja untuk memudahkan sistem administrasi.


Perlukah NPWP Anggota Keluarga?

Sebenarnya esensi NPWP anggota keluarga ini adalah untuk membuktikan hubungan antara kepala keluarga dengan tanggungannya sesuai dengan konsep Pajak Penghasilan yang melihat keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis.

Kapankah pembuktian ini diperlukan? Paling tidak pembuktian ini diperlukan dalam dua hal. Pertama, dalam kasus anggota keluarga yang menginginkan pembebasan fiskal. Kedua, agar anggota keluarga tidak dipotong tariff pemotongan PPh yang lebih tinggi. Namun demikian, pembuktian ini tidak harus memiliki NPWP anggota keluarga. Dalam kasus bebas fiskal, Siaran Pers DJP beberapa waktu yang lalu membolehkan bebas fiskal bagi anggota keluarga dengan menunjukkan NPWP suami atau ayah dan kartu keluarga. Dalam kasus pemotongan PPh, Peraturan Dirjen Nomor 51/PJ/2008 ini membolehkan anggota keluarga untuk tidak mengajukan permohonan NPWP, tetapi cukup melampirkan kartu NPWP penangung biaya hidup dan kartu keluarga serta surat pernyataan susunan anggota keluarga.

Itulah beberapa point penting yang saya tangkap dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 51/PJ/2008 ini Untuk lebih jelasnya, atau jika Anda ingin membaca langsung sumbernya silahkan download peraturan ini dalam link berikut : Peraturan Dirjen Pajak Nomor 51/PJ/2008 Tanggal 31 Desember 2008.

diundih dari website Dudi Wahyudi

[+/-] Selengkapnya...